Opini

MENUJU PEMILU GEMBIRA, PASCA PUTUSAN MK NOMOR 135/PUU-XXII/2024

Oleh : Doni Hafidhian, S.Psi (Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan)   Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Pada 26 Juni 2025, telah memberikan arah baru bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Putusan ini menegaskan bahwa Pemilu Nasional yang meliputi pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD, tidak lagi disatukan sepenuhnya dengan pemilu lokal yang meliputi DPRD serta Pemilihan Kepala Daerah. MK memutuskan agar terdapat jarak waktu antara kedua jenis pemilu tersebut, yakni paling cepat 2 tahun dan paling lama 2,5 tahun setelah pelantikan pejabat hasil pemilu nasional. Setidaknya  terdapat 5 (lima) pendapat MK dalam memutuskan putusan ini, diantaranya adalah: Beban kerja penyelenggara yang terlalu berat dan tumpang tindih dalam satu tahun yang sama menyebabkan  ketidakefisienan  lembaga;          Mahkamah menyebut pemilu lima kotak menyebabkan keletihan institusional dan memicu korban jiwa, seperti pada Pemilu 2019 dan 2024; Partai politik kehilangan waktu yang cukup untuk kaderisasi karena harus menyiapkan ribuan calon  legislatif dan kepala daerah dalam waktu yang nyaris bersamaan Pembangunan daerah  tenggelam  oleh dominasi isu  nasional  karena  pemilu  lokal dan nasional berlangsung serempak; MK menyatakan pemilih mengalami kejenuhan karena harus mencoblos lima surat suara sekaligus dengan banyak calon dalam waktu singkat Bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemilu, putusan ini merupakan amanat konstitusi yang wajib dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Keputusan MK harus dipahami tidak sekadar sebagai perubahan teknis, melainkan juga sebagai momentum perbaikan tata kelola demokrasi Indonesia. KPU Kabupaten Wonogiri tetap akan menunggu kebij akan lebih lanjut yang diputuskan oleh DPR melalui  Revisi UU Pemilu dan juga peraturan perundang-undangan turunannya.  Partisipasi Masyarakat Meningkat  Kita ketahui bahwa Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada 2024 kemarin di Kabupaten Wonogiri Adalah 69,5%, diharapkan dengan Keputusan MK ini akan meningkatkan  tingkat Partisipasi Masyarakat di Wonogiri, hal ini di mungkinkan selain KPU KABUPATEN WONOGIRI yang selalu bersosialisasi ke Masyarakat ada juga partai politik dan calon legislatif yang ikut mensosialisasikan kepada konstituennya. Kualitas Penyelenggaraan yang Lebih Terjaga Selama ini, pemilu serentak di semua tingkatan membawa tantangan besar. Kompleksitas logistik, panjangnya waktu penghitungan suara, hingga beban kerja penyelenggara sering kali memunculkan persoalan yang berimplikasi pada kualitas pemilu. Dengan adanya pemisahan waktu antara pemilu nasional dan lokal, KPU KABUPATEN WONOGIRI melihat peluang untuk meningkatkan efektivitas manajemen pemilu. Setiap tahapan dapat lebih fokus, distribusi logistik lebih terukur, serta pelayanan kepada pemilih lebih maksimal. Tantangan Transisi dan Penyesuaian Regulasi Namun, KPU KABUPATEN WONOGIRI juga menyadari bahwa putusan ini menuntut adanya penyesuaian regulasi. Undang-undang pemilu dan pilkada perlu direvisi agar selaras dengan putusan MK. Tanpa aturan pelaksana yang jelas, penyelenggaraan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk potensi kekosongan jabatan atau perpanjangan masa jabatan yang bisa diperdebatkan secara konstitusional. KPU mendorong pemerintah dan DPR untuk segera merumuskan regulasi turunan yang komprehensif, sehingga transisi menuju sistem baru ini berjalan tanpa menimbulkan kegaduhan politik maupun administratif. Komitmen KPU KABUPATEN WONOGIRI Sebagai pelaksana teknis, KPU KABUPATEN WONOGIRI berkomitmen menyiapkan roadmap yang jelas mengenai tahapan, jadwal, dan kebutuhan sumber daya. Penguatan kapasitas KPU KABUPATEN WONOGIRI daerah menjadi prioritas agar penyelenggaraan di seluruh wilayah berjalan merata. Selain itu, KPU KABUPATEN WONOGIRI akan mengoptimalkan sosialisasi kepada masyarakat, partai politik, dan calon peserta pemilu, agar semua pihak memahami perubahan ini dan dapat menyesuaikan strategi politik maupun partisipasinya. Kesiapan KPU Kabupaten Wonogiri Saat ini KPU Kabupaten Wonogiri terus melakukan internalisasi persiapan pelaksanaan Pemilu Nasional 2029 dengan agenda sebagai berikut: Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan dilaksanakan di Tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan tiap 3 (tiga) bulan sekali. Pemenuhan SDM dan Peningkatan Kapasitas SDM dan Kelembagaan KPU Kabupaten Wonogiri Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih Pelaksanaan Sosdiklih diselenggarakan melalui kerja sama dengan berbagai pihak agar mampu mengoptimalisasikan fungsi dan peran sebagai penggerak demokrasi kepemiluan di Indonesia. Disamping itu, KPU Kabupaten Wonogiri memaksimalkan sosial media yang dimiliki untuk dapat terus melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada seluruh masyarakat di Kabupaten Wonogiri Pemutakhiran Data Partai Politik Berkelanjutan Dilaksanakan tiap 6 (enam) bulan sekali, dan dokumen yang diverifikasi adalah SK Kepengurusan di tingkat Kabupaten/Kota, Nama Pengurus Tingkat Kabupaten/Kota, Kepengurusan dengan 30% keterwakilan perempuan, serta  kepemilikan  rekening bank.      Menjaga Kepercayaan Publik Demokrasi tidak hanya diukur dari seberapa sering pemilu diselenggarakan, tetapi juga dari seberapa tinggi tingkat kepercayaan rakyat terhadap prosesnya. Oleh karena itu, KPU KABUPATEN WONOGIRI memandang putusan MK ini harus menjadi momentum untuk memperkuat prinsip pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Kejelasan aturan, konsistensi penyelenggaraan, serta transparansi informasi menjadi kunci agar masyarakat yakin bahwa pemilu tetap berlangsung demokratis dan konstitusional. Penutup Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 adalah tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Ia mengajarkan bahwa sistem pemilu tidak bersifat statis, melainkan harus selalu disesuaikan dengan dinamika bangsa dan kebutuhan konstitusional. KPU KABUPATEN WONOGIRI siap melaksanakan amanat ini dengan sebaik-baiknya, bersama seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat, demi terwujudnya pemilu yang semakin berkualitas serta memperkuat fondasi negara demokrasi.

FENOMENA LONJAKAN SURAT SUARA TIDAK SAH PADA PEMILIHAN BUPATI WONOGIRI 2024: TANTANGAN DAN SOLUSI BAGI GENERASI MUDA

Pilkada Serentak 2024 dan Pentingnya Suara Generasi Muda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Jawa Tengah 2024 menjadi momen penting bagi demokrasi lokal, termasuk di Wonogiri. Pilkada bukan sekadar ritual politik, melainkan sarana untuk menentukan arah pembangunan daerah. Namun, salah satu tantangan terbesar dalam Pilkada Wonogiri 2024 adalah lonjakan surat suara tidak sah. Data menunjukkan, dari 589.239 pengguna hak pilih, terdapat 25.599 suara tidak sah (4,34%). Angka ini lebih tinggi dibandingkan Pilbup 2020 yang hanya 13.916 suara tidak sah (2,34%). Fenomena ini patut menjadi perhatian, terutama bagi generasi milenial dan Gen Z yang dominan di media sosial. Mereka adalah kelompok potensial yang bisa mengubah tren partisipasi dan kualitas suara. Artikel ini akan membedah penyebab lonjakan suara tidak sah, serta memberikan tips praktis agar pemilih muda bisa menggunakan hak suara secara cerdas dan bertanggung jawab. Memilih dengan Cerdas dan Bertanggung Jawab Memilih secara cerdas bukan sekadar mencoblos, melainkan memahami dampak pilihan terhadap masa depan daerah. Menurut Amartya Sen (1999), demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dan informasi yang memadai. Di era digital, generasi muda memiliki akses informasi lebih luas, tetapi juga rentan terpapar hoaks dan politik identitas. Apa artinya memilih cerdas? Memahami visi-misi calon, tidak hanya terpengaruh popularitas atau atribut tertentu. Memverifikasi informasi dan menghindari hoaks dengan merujuk sumber resmi seperti KPU atau Bawaslu. Memastikan surat suara valid. Kesalahan teknis seperti tanda coblos tidak jelas bisa membuat suara gugur. Mengetahui  Lokasi TPS dan hadir tepat waktu mencobos Penyebab Utama Surat Suara Tidak Sah Berdasarkan data dan pengamatan lapangan, berikut penyebab utama lonjakan suara tidak sah di Wonogiri 2024: Kesalahan Teknis Pemilih. Pemilih tidak mengisi surat suara sesuai petunjuk, seperti tanda coblos ganda atau coretan. Kurangnya Sosialisasi dan simulasi pemungutan suara. Banyak pemilih pemula (generasi muda) yang belum paham tata cara mencoblos. Tekanan Psikologis di TPS karena antrian dan jarak TPS semakin jauh. Pemilih terburu-buru atau grogi saat mencoblos. Golput Aktif. Beberapa pemilih datang ke TPS tetapi sengaja merusak surat suara atau mencoblos semuanya sebagai bentuk protes politik. Libatkan Influencer dan Komunitas Lokal Pemilih muda cenderung lebih percaya pada figur publik yang mereka anggap relatable, sehingga keterlibatan influencer dan komunitas lokal dapat meningkatkan kesadaran pemilih.   Tips Mengurangi Suara Tidak Sah Perbaiki Sosialisasi. KPU dan pemangku kepentingan harus gencar kampanye lewat media social: TikTok, Instagram, youtube dan webinar dll. Simulasi Pemilihan. Sekolah dan kampus bisa jadi tempat pelatihan praktik mencoblos. Pelatihan berbasis simulasi di India mengurangi kesalahan penghitungan 40% (Election Commission of India Report, 2019). Penambahan TPS dan Waktu Pemungutan untuk menghindari antrean panjang yang membuat pemilih terburu-buru. Pemilu Kenya 2017 menunjukkan antrean panjang berkorelasi dengan peningkatan suara rusak (African Electoral Review). Peraturan Jelas Sejak Dini. KPU harus menerbitkan Peraturan KPU dan petunjuk teknis  penghitungan suara sebelum masa kampanye sehingga menjadikan KPU memiliki waktu lebih panjang untuk melakukan pembekalan pelatihan kepada badan adhock PPK, PPS, KPPS.  UU Pemilu Kanada (2022) mewajibkan KPU menerbitkan pedoman teknis 6 bulan sebelum pemungutan suara pemilu.   Tips untuk Generasi Muda: Jadi Pemilih Cerdas! Pelajari Calon Secara Mendalam dengan manfaatkan media sosial untuk menelusuri rekam jejak, bukan sekadar ikut tren. Gunakan Hak Pilih dengan Tenang dengan datang ke TPS lebih awal, baca petunjuk dengan saksama. Mengetahui lokasi dan waktu memilih. Laporkan pelanggaran jika melihat ketidaksesuaian, kepada Bawaslu via aplikasi atau media sosial. Wonogiri Lebih Baik Dimulai dari Suara Kita Lonjakan suara tidak sah adalah alarm bagi semua pihak. Namun, ini juga peluang untuk memperbaiki sistem demokrasi kita. Generasi muda, dengan kecakapan digital dan semangat kritis, bisa menjadi garda terdepan dalam memastikan Pilkada berkualitas. Mari jadikan suara kita bukan sekadar angka, tapi fondasi untuk Wonogiri yang lebih maju. Selamat memilih dengan bijak untuk Pemilu dan Pilkada yang akan datang!   Kebaruan Fenomena Surat Suara Tidak Sah Fenomena lonjakan surat suara tidak sah di Wonogiri 2024 tidak hanya penting dari sisi kuantitas, tetapi juga mengandung makna kualitas demokrasi. Kebaruan dari isu ini adalah bahwa surat suara tidak sah bukan semata-mata akibat kesalahan teknis, melainkan dapat menjadi indikator tingkat literasi politik dan kedewasaan berdemokrasi masyarakat. Dalam konteks generasi muda, kebaruan lainnya terletak pada pemanfaatan teknologi digital. Generasi milenial dan Gen Z adalah digital native yang akrab dengan media sosial, aplikasi, dan konten kreatif. Oleh karena itu, upaya menekan angka surat suara tidak sah harus memanfaatkan pendekatan digital, seperti simulasi mencoblos berbasis aplikasi, kampanye edukasi melalui video singkat di TikTok atau Instagram, hingga gamifikasi pendidikan pemilih. Pendekatan ini relatif baru dalam strategi kepemiluan di Indonesia, namun terbukti efektif di berbagai negara lain. Selain itu, membandingkan dengan praktik baik internasional seperti India, Kanada, dan Kenya memberikan nilai tambah karena memperlihatkan bahwa masalah invalid vote adalah fenomena global yang bisa dikelola dengan regulasi tepat, edukasi sistematis, dan inovasi teknologi.   Ide Strategis untuk Internal KPU Sebagai penyelenggara pemilu, KPU tidak hanya bertugas memastikan teknis pencoblosan, tetapi juga berperan dalam meningkatkan kualitas partisipasi. Beberapa ide inovatif yang bisa dikembangkan secara internal antara lain: Platform Simulasi Digital KPU dapat meluncurkan aplikasi resmi berupa simulasi mencoblos digital yang bisa diakses lewat ponsel. Pemilih dapat mencoba berbagai skenario pencoblosan agar paham cara yang benar, sehingga mengurangi risiko surat suara tidak sah. Gamifikasi Sosialisasi Sosialisasi bisa dibuat lebih menarik dengan konsep permainan, misalnya lomba quiz online tentang tata cara mencoblos atau kompetisi membuat konten edukasi kepemiluan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hal ini bisa memotivasi generasi muda untuk memahami proses pemilu dengan cara menyenangkan. Youth Election Ambassador Setiap kecamatan bisa memiliki duta pemilu muda yang bertugas menjadi penggerak edukasi di lingkungannya. Dengan pendekatan sebaya (peer to peer), pesan kepemiluan lebih mudah diterima oleh generasi milenial dan Gen Z. Integrasi Edukasi Kepemiluan di Sekolah dan Kampus KPU bisa bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk memasukkan materi kepemiluan sebagai muatan lokal atau kegiatan ekstrakurikuler. Dengan begitu, pemilih pemula mendapat pemahaman lebih dini dan terstruktur. Pemanfaatan Big Data dan AI Monitoring KPU dapat menggunakan teknologi analitik untuk memetakan TPS yang berpotensi tinggi menghasilkan surat suara tidak sah. Dengan informasi berbasis data ini, strategi sosialisasi dapat difokuskan ke wilayah rawan. Kampanye Hybrid (Offline & Online) Selain tatap muka di TPS atau balai desa, KPU dapat memperkuat sosialisasi lewat siaran langsung (live streaming) interaktif, webinar kepemiluan, atau podcast khusus pemilih pemula. Dengan cara ini, pesan dapat menjangkau audiens yang lebih luas.   Penutup Tambahan Dengan menambahkan kebaruan isu dan ide internal KPU ini, diharapkan tulisan tidak hanya berhenti pada analisis fenomena, tetapi juga memberi tawaran solusi konkret yang bisa diimplementasikan. Lonjakan suara tidak sah seharusnya menjadi momentum refleksi bersama, sekaligus pemicu inovasi kelembagaan agar demokrasi lokal semakin berkualitas. Generasi muda memiliki peran vital dalam transformasi ini, sementara KPU sebagai penyelenggara dapat menjadi motor penggerak inovasi dengan strategi yang adaptif, kreatif, dan berbasis teknologi.

BERPEMILU DENGAN GEMBIRA

Pasca reformasi 1997 hingga tahun 2024 setidaknya sudah 6 kali Pemilu dilaksanakan dengan desain Pemilu yang berbeda. Pemilu 1999 yang diiikuti oleh 48 Partai diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota yang selanjutnya disebut dengan Pemilu Legislatif (Pileg). Pada Pemilu periode tersebut, Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui Sidang Umum MPR. Pada Tahun 2004 Pemilu Legislatif mengalami penambahan pemilihan, yakni pemilihan Anggota DPD. Dengan demikian, Pileg tahun 2004 menjadi 4 kotak suara. Sedangkan untuk Pilpres mengalami perubahan sistem. Presiden dan Wakil Presiden menjadi langsung dipilih oleh rakyat Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih. Pileg dan Pilpres tahun 2004 diselenggarakan dalam waktu yang berbeda namun masih dalam rentang tahun yang sama, Pemilu untuk memilih anggota legislatif dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004 sedangkan Pilpres dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004. Pada Pemilu 2009 dan 2014 desain penyelenggaraan Pemilu masih tetap sama dengan Pemilu 2004, yakni Pemilu dilaksanakan secara terpisah dengan Pilpres. Melalui putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, mahkamah memutuskan bahwasannya Pileg dan Pilpres tahun 2019 dilaksanakan secara serentak. Desain Pemilu yang menyerentakkan antara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota yang seringkali disebut dengan Pemilu 5 kotak ini diharapkan memiliki efek ekor jas (coattail effect) popularitas calon Presiden dan Wakil Presiden terhadap keuntungan elektoral bagi kandidat atau partai politik di tingkat bawah.  Pemilu serentak ini telah dilaksanakan 2 (dua) kali oleh bangsa Indonesia, yakni pada tahun 2019 dan 2024. Selain Pemilu, bangsa Indonesia juga melaksanakan Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemilihan kepala daearh yang pertama yang digelar adalah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kertanegara pada tanggal 1 Juni 2005. Undang-Undang yang mendasari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah ini telah mengalami beberapa kali perubahan yang kemudian berimplikasi pada penyebutan istilah, mulai dari Pilkada, Pemilukada, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota, hingga istilah Pilkada Serentak. Berdasarkan undang-undang pemilihan kepala daerah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah didasarkan pada Akhir Masa Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di masing-masing Provinsi/ Kabupaten/ Kota. Pada masa ini terdapat 4 wilayah yang mempunyai aturan Khusus tentang Pemilihan Kepala Daerah yakni DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh dan Papua. Secara prinsip desain penyelenggaraan Pilkada serentak Tahun 2024 adalah menyerentakkan penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh Indonesia, kecuali pemilihan kepala daerah di 5 kota dan 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI dan pemilihan kepala daerah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menghapus Ambang Batas Pemerintah dan DPR, Pemerhati Pemilu/NGO dan Mahkamah Konstitusi sepertinya sedang mendesain Pemilu yang ideal untuk bangsa Indonesia. Pemilu yang membuat gembira Peserta Pemilu, Pemilih dan Penyelenggaranya. Mulai dari mendesain ulang bentuk Pemilu, sistem Pemilu serta aturan teknis di dalamnya. Empat Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga melakukan uji materi terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu yang mengatur tentang Presidential Threshold/ Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Melalui putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan dengan menghapus ambang batas pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu selanjutnya, dengan kata lain seluruh Partai Politik/ Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain menghapus ambang batas Pilpres, Mahkamah Konstitusi juga menghapus ambang batas “kursi DPRD” pada penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora.  Dengan putusan ini seluruh partai politik peserta Pemilu 2024 dapat mengusung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dengan tetap memperhatikan jumlah penduduk yang terdaftar dalam DPT dan jumlah perolehan suara sah meskipun tidak memperoleh kursi DPRD. Implikasi Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa desain Pemilu idealnya adalah dengan mengelompokkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal/ Daerah. Pada putusan nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa Pemungutan Suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR dan DPD RI, dan setelahnya paling singkat 2 tahun atau paling lambat 2 tahun 6 bulan diselenggarakan pemungutan suara untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur,  anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota serta Anggota DPRD Kabupaten/ Kota. Dari sekian putusan, yang berujung pada perubahan sistem, desain dan teknis Pemilu serta Pemilihan, selalu muncul konsekuensi logis pada penerapannya. Misalnya, dari sisi peserta Pemilu adalah rumusan soal Partai Politik peserta Pemilu pada Pemilu yang mana yang berhak mengusung Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah? Apakah peserta Pemilu Tahun 2024 atau Peserta Pemilu Tahun 2029 (Pilpres) dan 2031 (Pilkada). Tentang penetapan partai politik peserta Pemilu? apakah menggunakan skema 1 kali penetapan, sehingga Peserta Pemilu Nasional akan otomatis menjadi Peserta Pemilu Lokal/ daerah? Dari sisi penyelenggaraan adalah bagaimana mendesain kampanye dengan biaya murah nan efektif, mengingat pada Pemilu ke depan calon anggota DPR RI tidak dapat mengandalkan “patungan” dengan calon anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota ketika kampanye.  Dari sisi pembiayaan, soal rumusan sumber anggaran, apakah APBN seluruhnya atau kombinasi APBN dan APBD? Karena Pemilu ke depan merupakan Pemilu campuran antara Pemilu dan Pemilihan. Gagasan MK yang ingin memperkuat proses demokrasi di tingkat lokal sekaligus mencari celah penerapan prinsip efisiensi dan efektifitas jangan sampai hanya menjadi ajang coba-coba. Ber-Pemilu dengan Gembira Penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019 dan 2024 banyak menelan korban jiwa dari unsur penyelenggara Pemilu. Tercatat 824 orang meninggal dunia pada tahun 2019, sedangkan tahun 2024 sebanyak 94 orang meninggal dunia dan ribuan orang yang dilaporkan jatuh sakit. Tingkat invalid vote yang cenderung tinggi menunjukkan salah satu faktor kejenuhan pemilih, sehingga pemilih hadir di TPS namun tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik. Keluh kesah peserta Pemilu/ Pemilihan tentang biaya yang tinggi untuk memenangkan kontestasi. Dengan desain baru Pemilu ini, diharapkan mampu untuk menyusun restorasi Pemilu baik skala nasional maupun lokal. Setidaknya Partai Politik sebagai peserta Pemilu dapat menyiapkan proses kaderisasi dengan cukup waktu sehingga calon-calon yang muncul adalah calon-calon yang mempunyai kapasitas mengelola negara dengan lebih baik. Terhindarnya voters fatigue, masyarakat mempunyai kesempatan untuk memilih dengan gembira, sehingga pemilih mempunyai dorongan yang kuat untuk hadir di TPS dan menggunakan hak pilihnya dengan benar karena disuguhi calon-calon yang berkualitas. Penyelenggara Pemilu juga bisa bernafas, mengatur ritme, menyajikan penyelenggaraan Pemilu atau Pemilihan yang lebih bermutu dan legitimate. Saatnya ber-Pemilu dengan gembira.   Nursahid Agung Wijaya Kepala Subbagian Keuangan, Umum dan Logistik KPU Kabupaten Wonogiri   *artikel ini telah tayang di halaman 2, Harian Solopos tanggal 7 Juni 2025

PENDIDIKAN PEMILIH PEMULA: MENYALAKAN OBOR DEMOKRASI

Oleh : Irawan Ary Wibowo /Ketua Divisi Sosdilih Parmas dan SDM KPU Kabupaten Wonogiri   Dalam dinamika kehidupan demokrasi, Pemilih pemula ibarat tunas muda yang siap tumbuh dan memberi nafas segar bagi masa depan bangsa. Mereka adalah generasi yang berada dipersimpangan antara keingintahuan dan tanggung jawab. Diiringi derasnya arus informasi digital dan ledakan teknologi, generasi ini tumbuh sebagai individu yang kritis, adaptif, dan penuh semangat. Mereka tidak hanya akrab dengan media sosial, namun juga memiliki potensi besar sebagai agen perubahan dalam kehidupan berbangsa. Mengutip pernyataan Franklin D. Roosevelt (Presiden Amerika Serikat yang ke-32), ”Penjaga sejati demokrasi adalah Pendidikan.” Dalam konteks ini, pendidikan pemilih bagi pemilih pemula menjadi pemantik untuk menyalakan “api demokrasi” sejak dini. Pendidikan pemilih bukan sekadar penyampaian informasi teknis tentang cara mencoblos di hari pemungutan suara. Lebih dari itu, pendidikan ini adalah upaya menanamkan nilai-nilai demokrasi partisipatif dan literasi politik yang mendalam. Seperti menanam benih pada ladang subur, pemahaman yang baik sejak awal akan tumbuh menjadi kesadaran politik yang matang. Tujuannya bukan hanya agar mereka tahu siapa yang bisa dipilih, tetapi mengapa mereka harus memilih, dan bagaimana pilihan itu akan berdampak pada kehidupan masyarakat luas. Namun, meyakinkan pemilih pemula untuk peduli pada politik dan demokrasi tak cukup hanya dengan ceramah satu arah. Dibutuhkan pendekatan yang relevan dengan dunia mereka. Oleh karena itu metode pembelajaran deep learning dianggap tepat untuk diterapkan agar proses belajar dapat menghadirkan mereka untuk mendapatkan pesan- pesan demokrasi yang bermakna dan menggembirakan. Deep learning dalam pendidikan pemilih mengajak siswa untuk berpikir kritis, mengkaji isu-isu politik secara reflektif, serta memahami konteks sosial dan kebijakan publik secara lebih dalam. Metode ini ibarat menyelam ke dasar Samudra; bukan hanya melihat permukaannya, tetapi menjelajahi ekosistem demokrasi yang kompleks dan saling terhubung. Kegiatan sosialisasi pun dikemas secara kreatif dan interaktif melalui diskusi interaktif, ice breaking dan fun game, penggunaan media digital yang menarik hingga pendampingan dalam kegiatan pemilihan ketua OSIS agar siswa dapat melihat lebih dekat dan terlibat lebih aktif dalam proses-proses demokrasi. Pendekatan ini sejalan dengan gaya belajar para pemilih pemula yang lebih menyukai kolaborasi, visualisasi, dan pengalaman langsung. Partisipasi pemilih pemula dalam pemilu dan pilkada adalah cerminan kualitas demokrasi ke depan. KPU Kabupaten Wonogiri berkomitmen menjadikan pendidikan pemilih sebagai jembatan menuju masyarakat yang sadar politik, melek informasi, dan bertanggung jawab atas hak pilihnya. Dengan begitu, suara mereka bukan hanya sekadar tanda di surat suara, tetapi gema perubahan yang nyata. Sebab, dalam demokrasi, setiap suara adalah matahari yang jika dikumpulkan, bisa menerangi bangsa.

KELUARGA: SEKOLAH DEMOKRASI PERTAMA

Seminggu setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 22 Juni 1949, pejuang kemerdekaan yang masih hidup kembali berkumpul bersama keluarganya. Momen kepulangan ini menjadi dasar penetapan Hari Keluarga Nasional oleh Presiden Soeharto tanggal 29 Juni 1992. Selanjutnya hingga kini, setiap 29 Juni kita memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Peringatan ini membawa pesan kuat, bahwa keluarga adalah pilar utama peradaban, pendidikan karakter dan pondasi demokrasi. Dalam keluarga nilai-nilai demokrasi bisa ditanamkan sejak dini. Partisipasi, kesetaraan, dan penghargaan terhadap perbedaan, seharusnya tumbuh dan berkembang dari ruang privat dan sering tidak terlihat, yaitu keluarga. Menyampaikan pendapat tanpa takut, saling mendengar, menghargai perbedaan pendapat dan mengambil keputusan bersama adalah hal sederhana yang bisa dibiasakan dalam keluarga. Sayangnya, praktik ini belum membudaya. Masih banyak ditemukan kekakuan dan keakuan. Pada situasi ini anggota keluarga terutama anak, sulit tumbuh menjadi individu merdeka dalam berpikir, apalagi dalam memilih.   Gen Z dan Pilkada Padahal Gen Z, generasi yang lahir di rentang tahun 1997 hingga 2012, adalah pemilih baru yang jumlahnya signifikan. Di Pilkada Wonogiri tahun 2024 jumlahnya 160.850 jiwa, setara dengan 19% dari jumlah total Daftar Pemilih Tetap. Generasi yang tumbuh ditengah kemajuan teknologi informasi ini dikenal kritis dan aktif di media sosial dan terbiasa mengakses informasi dari berbagai sumber. Ironisnya mereka juga rentan terhadap disinformasi, terjebak algoritma, mudah jenuh, dan tidak sedikit pula yang cenderung sinis serta apatis memandang politik dan demokrasi. Berdasar data KPU Wonogiri, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak tahun 2024 sebesar 69,92%. Jauh dari target nasional yang ditetapkan KPU RI sebesar 80%. Dan yang mengejutkan, jumlah suara tidak sah sebanyak 25.599 suara atau 4,34% dari jumlah pengguna hak pilih untuk jenis Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Sedangkan untuk jenis Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur jumlah suara tidak sah sebanyak 28.142 suara atau 4,77% dari jumlah pengguna hak pilih. Jumlah ini setara dengan jumlah pemilih Pilkada di Kecamatan Bukukerto Kabupaten Wonogiri. Banyaknya suara tidak sah memberikan sinyal adanya kesenjangan literasi politik, atau bentuk protes terhadap sistem politik yang sedang berjalan. Asumsinya, pemilih pemula termasuk Gen Z memiliki andil yang cukup signifikan terhadap capaian tersebut. Tantangan untuk Pemilu dan Pilkada berikutnya bukan hanya pada tingkat kehadiran di TPS, tapi pada kualitas kesadaran demokrasi yang tumbuh dari dalam diri setiap pemilih. Kedepan angka kehadiran di TPS haruslah naik, sebaliknya jumlah suara tidak sah haruslah menurun. Disisi lain kita masih menghadapi persoalan klasik elektoral, yakni money politics, apatisme, hingga masifnya hoaks dan disinformasi.   Keluarga: Sekolah Demokrasi Pertama Paska Pilkada 2024, KPU Wonogiri mulai melakukan pendekatan pendidikan pemilih berbasis komunitas dan keluarga. Karena pendidikan demokrasi melalui sekolah, media sosial, atau lembaga formal tidaklah cukup. Sebelum negara mengajarkan prinsip dan nilai berdemokrasi, keluarga mestinya menjadi tempat pertama dan utama bagi anggota keluarganya menemukenali nilai-nilai demokrasi. “Urusan negara akan dapat diselesaikan jika kita mengandalkan kekuatan keluarga. Ketika urusan keluarga tuntas, maka urusan lainnya pun akan mengikuti.” Demikian disampaikan Menteri Wihaji pada acara Bincang Keluarga: Membangun Keluarga Harmonis dan Tangguh melalui kanal Youtube Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga BKKBN . Urusan lain, tentu saja termasuk diantaranya adalah pendidikan demokrasi. Dalam berbagai kesempatan dialog, sering terlihat bagaimana keluarga berpotensi menjadi ruang efektif dalam memperkenalkan nilai-nilai demokrasi. Antara lain soal integritas, toleransi, juga dampak dari satu suara. Terpenting bahwa demokrasi bukan persoalan menang atau kalah, tapi tentang tanggung jawab sebagai warga negara. Diskusi tentang nilai-nilai demokrasi harus dimulai dari obrolan santai di rumah. Dengan memberikan ruang pada anak untuk bertanya, berbeda pendapat, atau sekadar berdiskusi santai tentang apa yang terjadi di lingkungannya. Bayangkan dalam suasana guyub dan kebersamaan yang sederhana, bapak dan ibu memberi ruang bagi anak untuk bercerita. Ada proses diskusi, bahkan mungkin muncul perbedaan pendapat yang hangat diterima. Demokrasi diartikan sebagai keterlibatan setiap orang dalam proses pengambilan keputusan. Praktik demokrasi dalam keluarga bisa terjadi di meja makan atau di ruang keluarga, saat menyusun jadwal liburan atau membagi tugas rumah tangga. Dengan membuka ruang partisipasi melalui dialog dan rembugan, dapat menegaskan keadilan dan kesetaraan, menanamkan nilai kritis dan tanggung jawab, dan yang paling penting adalah tauladan dari orang tua. Prinsipnya tidak melulu membahas urusan politik elektoral, tapi tentang bagaimana anggota keluarga belajar untuk mendengar, didengar dan menghargai suara orang lain. Sejatinya inilah demokrasi.   Harganas Menjadi Pengingat Hari Keluarga Nasional kembali mengingatkan kita bahwa kekuatan bangsa dimulai dari keluarga. Sekaligus menjadi momen evaluasi bersama, apakah keluarga kita sudah memberi ruang tumbuh yang merdeka berpikir dan bersikap? Sudahkah kita memberi tauladan toleransi, penghargaan atas perbedaan dan tanggung jawab menaati keputusan bersama kepada anak-anak kita? Mari jadikan keluarga sebagai tempat persemaian warga muda yang kritis, santun, cerdas, berani berbeda, dan menjadi penjaga demokrasi, bukan hanya di panggung politik, tapi juga di ruang sosial dan digital. Demokrasi yang kokoh tidak bisa dibangun dalam sehari, setahun atau beberapa kali Pemilu dan Pilkada. Karena sekali lagi, demokrasi yang sehat tidak lahir dari panggung politik saja, tapi dari ruang privat yang paling dekat. Selamat Hari Keluarga Nasional. Dari keluarga, demokrasi dibentuk. Dari rumah, bangsa dibangun. Tulisan pernah dimuat di media online Radar Solo Jawa Pos https://radarsolo.jawapos.com/opini/846195487/keluarga-sekolah-demokrasi-pertama   Profil Penulis SATYA GRAHA, lahir di Surakarta tanggal 20 September 1979. Tinggal di Bulusulur, Wonogiri bersama istri dan dua anaknya. Saat ini menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wonogiri periode 2023 – 2028, setelah lama membersamai desa untuk beberapa project dan program pemberdayaan masyarakat desa. Dapat di kontak di rahagastya@gmail.com atau 081393453666.  

Transformasi Daftar Pemilih Tetap Menuju Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan

Oleh Dwi Prasetyo, S.Pd.I (Ketua Divisi Perencanaan, Data, dan Informasi)   Data pemilih itu sangat dinamis, hari ini ditetapkan, besok mungkin saja ada perubahan. Orang pindah domisili setiap saat bisa mengajukan ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Orang meninggal dunia tidak ada yang tahu kapan ia di panggil Yang Maha Kuasa. Diluar tahapan pemilu dan pemilihan, KPU mempunyai kewajiban untuk melaksanakan pemutakhiran dan pemeliharaan terhadap data pemilih. Dinamisnya data pemilih perlu mendapatkan perhatian agar setiap pemilu maupun pemilihan KPU tidak terlalu menumpuk pekerjaan bersih-bersih data pemilih yang tidak memenuhi syarat dan memasukan pemilih yang memenuhi syarat. Bagaimana strategi agar data pemilih dapat menyediakan data ter update setiap saat?  dalam artikel ini kita akan membahasnya. Ada rentang waktu cukup lama pasca pemilu dan pemilihan Tahun 2024 untuk menuju pemilu dan pemilihan berikutnya. Tahun 2025 dan 2026 bisa dipastikan KPU tidak akan menangani tahapan pemilu maupun pemilihan. Apakah KPU tidak ada pekerjaan? Pertanyaan ini sering disampaikan oleh beberapa orang kepada KPU. Sebagai lembaga tetap, KPU mempunyai tanggung jawab untuk ikut serta membangun demokrasi, mengevaluasi pelaksanaan pemilu maupun pemilihan yang telah terlaksana sebagai bekal pelaksanaan pemilu berikutnya. Pengertian Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilhan Umum secara tegas menyebutkan kewajiban KPU, KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota di dalam Pasal 14, 17 dan Pasal 20 huruf (l) yang menyatakan KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota berkewajiban “melaksanakan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan berdasarkan data kependudukan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Lebih lanjut KPU telah mengatur lebih detail terkait pemutakhiran data pemilih berkelanjutan dengan menerbitkan Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2025 tentang pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Dalam Pasal 1 ayat 13 KPU Nomor 1 Tahun 2025 tentang pemutakhiran data pemilih berkelanjutan menjelaskan  “ pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang selanjutnya disingkat PDPB adalah kegiatan untuk memperbaharui data pemilih berdasarkan DPT pemilu/pemilihan terakhir yang telah disinkronisasikan dengan data kependudukan secara nasional termasuk luar negeri”. Pemilih Memenuhi Syarat dan Pemilih Tidak Memenuhi Syarat. Pengelolaan PDPB dimulai dengan diterimanya data hasil sinkronisasi DPT pemilu/pemilihan terakhir dengan data kependudukan yang diberikan oleh kemendagri. Data inilah yang menjadi sumber KPU melaksanakan PDPB. Data sinkronisasi DPT pemilu/pemilihan terakhir dengan data kependudukan dari kemendagri terdiri dari beberapa elemen data yang harus dilakukan pencermatan. Data tersebut memuat pemilih yang sudah tidak memenuhi syarat karena meninggal dunia, pindah domisili dan data ganda. Sedangkan data pemilih yang memenuhi syarat antara lain; potensial pemilih baru, dan pindah masuk.     Seperti halnya saat tahapan pencocokan dan penelitian, KPU melakukan pemperbaharuan data pemilih dengan  mencoret data pemilih yang tidak memenuhi syarat, dan memasukan data pemilih yang memenuhi syarat. Proses ini dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk memastikan keakuratan daftar pemilih, yang kemudian akan digunakan dalam proses pemilu. Pleno Terbuka Rekapitulasi PDPB Hasil pembaharuan dan pengelolaan data pemilih selanjutnya ditetapkan dalam sebuah rapat pleno terbuka yang dihadiri oleh pihak-pihak terkait. Pihak terkait tersebut antara lain; Bawaslu, Dinas kependudukan dan pencatatan sipil, TNI, Polri dan pihak terkait lainya. Setelah rapat pleno terbuka rekapitulasi PDPB, KPU kabupaten/kota kemudian membuat berita acara dan surat keputusan PDPB.  KPU Kabupaten/Kota selanjutnya mengumumkan hasil rekapitulasi PDPB di laman KPU Kabupaten/Kota, media sosial resmi KPU Kabupaten/Kota, atau aplikasi berbasis teknologi informasi. Peran Serta Masyarakat dalam PDPB Masyarakat dapat memberikan masukan dan tanggapan masyarakat terhadap pengumuman rekapitulasi PDPB KPU Kabupaten/Kota. Masukan dan tanggapan masyarakat dapat diberikan secara langsung maupun lewat link yang telah disediakan di laman KPU kabupaten/kota. Tujuan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Data pemilih merupakan komponen sangat penting dalam penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan. Dengan data pemilih yang akurat, komprehensif, dan mutakhir memberikan dampak signifikan terhadap sukses dan tidaknya penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan. Perawatan terhadap data pemilih dengan pelaksanaan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan menjadi langkah penting dalam menunjang tahapan pemilu dan pemilihan selanjutnya. Sebagaimana Pasal 3 PKPU No 1 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan, menjelaskan tujuan PDPB yakni; Memelihara dan memperbaharui DPT pemilu dan/atau pemilihan terakhir secara berkelanjutan untuk penyusunan DPT pada pemilu dan/atau pemilihan berikutnya dengan tetap menjamin kerahasian data Menyediakan data dan informasi pemilih berskala nasional mengenai data pemilih secara komprehensif, akurat dan mutakhir. Kesimpulan Ada kegiatan KPU yang terus menerus dilakukan untuk menjaga data pemilih agar data pemilih semakin akurat, komprehensif dan mutakhir. Prinsip mutakhir berarti sesuai kondisi saat ini, sesuai informasi terakhir dan terbaru mengenai pemilih. Data pemilih yang akurat berarti mampu memuat informasi terkait pemilih yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Komprehensif merupakan prinsip penyusunan daftar pemilih secara lengkap dan luas yang meliputi semua WNI yang memenuhi syarat sebagai pemilih yang berada didalam negeri maupun luar negeri.