
URGENSI DIGITALISASI PEMILU DI INDONESIA
Oleh: Pradika Harsanto, S.IP, M.M. Komisioner KPU Kabupaten Wonogiri Saat virus Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), beberapa daerah di Indonesia sedang bersiap melaksanakan pemilihan bupati/ wali kota. Begitu cepatnya virus ini menyebar telah memaksa beberapa daerah mengambil langkah-langkah taktis untuk mencegah persebarannya. Saat ini semua wilayah di Indonesia telah memberlakukan kebijakan penutupan sekolah, penutupan tempat pariwisata, penundaan dan pembatalan berbagai acara yang melibatkan kerumunan, dan menghimbau masyarakat untuk beraktivitas dari rumah dan tidak bepergian kecuali untuk urusan yang sangat mendesak. Sedapat mungkin menghindari bertemu banyak orang dan menjaga jarak atau yang disebut juga dengan social distancing dan physical distancing. Sampai hari ini, jumlah orang positif virus covid-19 di Indonesia terus bertambah. Kebijakan Pembatasan Sosial Besar-Besaran (PSBB) telah diterapkan di sejumlah tempat. Selain menghimbau untuk di rumah saja, pemerintah juga mengeluarkan larangan untuk mudik dan beroperasinya kendaraan yang mengangkut penumpang seperti pesawat dan kereta api jarak jauh. Jika melihat ke dalam tahapan pemilu, ada beberapa tahapan yang melibatkan banyak orang atau massa. Tahapan-tahapan tersebut seperti sosialisasi, kampanye, serta saat hari pemilihan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri baik bagi penyelenggara pemilu maupun masyarakat umum. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri telah mengumumkan penundaan Pilkada dengan tiga skenario yaitu: Desember 2020, Maret 2021, atau September 2021. Hal ini mengantisipasi kondisi tiap daerah yang berbeda sehingga mungkin saja pilkada akan diselenggarakan pada waktu yang berbeda dengan pilihan tiga waktu tersebut. Semua pihak tentu berharap pandemi ini segera berakhir, namun untuk mengantisipasi kondisi ke depan yang tidak bisa diprediksi, tidak ada salahnya Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia perlu mempertimbangkan opsi percepatan digitalisasi pemilihan umum. Digitalisasi pemilu sangat penting dilihat dari berbagai aspek. Pertama, disaat pandemi seperti ini, digitalisasi pemilu akan berperan banyak dalam mengurangi kegiatan-kegiatan yang melibatkan kerumunanmassa seperti sosialisasi dan kampanye terbuka. Saat himbauan untuk social distancing dan di rumah saja, digitalisasi pemilu akan menjamin pesta demokrasi tetap berjalan tanpa membahayakan kesehatan masyarakat. Kedua, digitalisasi pemilu diharapkan dapat mengurangi sampah visual alat peraga kampanye. Pemasangan alat peraga kampanye merupakan salah satu yang dapat dengan mudah kita temui di berbagai tempat. Saat masa kampanye berlangsung, di sepanjang jalan baik jalan-jalan utama sampai ke gang-gang kecil akan kita jumpai berbagai macam spanduk, baliho, bendera partai dan tempelan-tempelan brosur serta pamflet yang memuat wajah calon anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Meskipun sudah ada aturan yang memuat tentang metode, waktu, penyebaran bahan kampanye, jenis dan ukuran bahan kampanye hingga tempat-tempat yang diperbolehkan untuk dipergunakan dalam aktivitas kampanye, kita sering menjumpai pemasangan alat peraga kampanye yang mengganggu pemandangan. Spanduk, baliho, bendera partai politik, poster hingga stiker dipasang di sembarang tempat. Di pinggir jalan, tiang listrik, pohon, jembatan, jembatan penyeberangan, dan fasilitas-fasilitas umum. Sehingga, ruang publik diinvasi oleh sampah visual yang merampas keindahan. Selain merusak keindahan, sampah visual yang terdiri dari beragam alat peraga kampanye ini juga menimbulkan kelelahan psikologis bagi mereka yang melihatnya. Alih-alih mendapatkan dukungan, banyaknya sampah visual yang berasal dari alat peraga kampanye ini malah memunculkan rasa risih, sikap malas dan muak terhadap calon dan partai politik. Selain itu, meskipun di pasang di daerah pemilihan tertentu, alat peraga kampanye ini pun memapar orang-orang yang sebatas lewat yang bukan merupakan target pemilih yang hanya akan menimbulkan kelelahan psikologis. Di sisi lain, pembuatan alat peraga kampanye yang merupakan salah satu sumber sampah visual ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pembuatan bendera, baliho, spanduk, cetak poster, selebaran dan stiker bukanlah hal yang murah. Sebuah ironi, bahwa alat peraga yang dicetak dengan mahal hanya menjadi sampah yang meneror psikologis masyarakat. Dari sini kita butuhkan solusi bersama untuk merumuskan kebijakan cara kampanye yang berbiaya lebih murah, tidak mengotori ruang publik, dan yang lebih penting lagi tepat sasaran. Kondisi ini tentu saja memprihatinkan, dengan biaya yang dikeluarkan cukup banyak, peserta kampanye melakukan banyak pelanggaran alat peraga kampanye. Hal ini belum termasuk dalam “pelanggaran” psikologis masyarakat yang “tertekan” melihat alat peraga kampanye yang merampas keindahan ruang-ruang publik. Hal ini tentu saja harus dikaji ulang untuk mengurangi terjadinya pelanggaran, meminimalkan biaya pengadaan alat peraga kampanye, dan membebaskan ruang publik dari sampah-sampah visual pemilihan umum. Ketiga, penerapan e-voting untuk semua jenis pemilihan umum di Indonesia, baik pemilihan presiden, wakil rakyat atau pemilihan kepala daerah. Harus diakui bahwa pemilu di Indonesia selalu menelan anggaran yang tidak sedikit. Hal itu juga masih ditambah dengan banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk pencetakan, pelipatan kertas suara, penyortiran, dll. Kertas serta berbagai alat pendukung pemilupun pada akhirnya hanya akan menjadi sampah yang terbuang sia-sia dan tidak bisa dimanfaatkan lagi setelahnya. E-voting ini juga dapat menjadi salah satu upaya untuk mengurangi kecurangan karena data yang masuk minim intervensi dan rekapitulasi hasil pemilu akan semakin cepat. Hal ini bisa dicapai seiring dengan cita-cita bangsa ini untuk menciptakan kesetaraan akses informasi di seluruh Indonesia. Selain itu, e-voting ini juga dapat menjadi solusi atas masalah kelelahan KPPS yang menyebabkan banyak orang meninggal pada pemilu serentak 2019 lalu akibat kelelahan penghitungan suara yang memakan waktu sangat panjang. Digitalisasi pemilu ini dapat dirangkum dalam sebuah aplikasi pemilu yang mudah diakses oleh masyarakat dari tempat tinggalnya masing-masing melalui smartphone. Menurut data yang dirilis oleh laman web katadata yang bersumber dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada Mei 2019, jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2018 bertambah 27, 91 juta (10,12%) menjadi 171, 18 juta jiwa. Artinya penetrasi internet di tanah air meningkat menjadi 64,8% dari total penduduk yang mencapai 164,16 juta jiwa. Sedangkan berdasarkan hasil riset Wearesocial Hootsuite yang dirilis Januari 2019 pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei sebelumnya. Sementara pengguna media sosial (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi. Kondisi ini menggambarkan banyaknya pengguna internet dan media sosial di Indonesia yang dapat diartikan bahwa dengan semakin banyaknya pengguna internet dan semakin besarnya penetrasi, maka kondisi kesetaraan dalam mendapatkan informasi akan semakin nyata. Dengan internet, masyarakat yang tinggal di Papua dapat mengakses informasi yang sama dengan masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa misalnya. Kondisi inilah yang harus segera diadaptasi oleh sistem pemilihan umum di Indonesia. Meningkatnya jumlah pengguna dan penetrasi internet, harus mampu dilihat sebagai awal kesiapan masyarakat menerima sistem pemilu berbasis internet. Stay safe, stay healthy. Semoga pandemi ini segera berakhir.