Opini

BERPEMILU DENGAN GEMBIRA

Pasca reformasi 1997 hingga tahun 2024 setidaknya sudah 6 kali Pemilu dilaksanakan dengan desain Pemilu yang berbeda. Pemilu 1999 yang diiikuti oleh 48 Partai diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota yang selanjutnya disebut dengan Pemilu Legislatif (Pileg). Pada Pemilu periode tersebut, Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui Sidang Umum MPR.

Pada Tahun 2004 Pemilu Legislatif mengalami penambahan pemilihan, yakni pemilihan Anggota DPD. Dengan demikian, Pileg tahun 2004 menjadi 4 kotak suara. Sedangkan untuk Pilpres mengalami perubahan sistem. Presiden dan Wakil Presiden menjadi langsung dipilih oleh rakyat Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih. Pileg dan Pilpres tahun 2004 diselenggarakan dalam waktu yang berbeda namun masih dalam rentang tahun yang sama, Pemilu untuk memilih anggota legislatif dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004 sedangkan Pilpres dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004.

Pada Pemilu 2009 dan 2014 desain penyelenggaraan Pemilu masih tetap sama dengan Pemilu 2004, yakni Pemilu dilaksanakan secara terpisah dengan Pilpres. Melalui putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, mahkamah memutuskan bahwasannya Pileg dan Pilpres tahun 2019 dilaksanakan secara serentak. Desain Pemilu yang menyerentakkan antara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota yang seringkali disebut dengan Pemilu 5 kotak ini diharapkan memiliki efek ekor jas (coattail effect) popularitas calon Presiden dan Wakil Presiden terhadap keuntungan elektoral bagi kandidat atau partai politik di tingkat bawah.  Pemilu serentak ini telah dilaksanakan 2 (dua) kali oleh bangsa Indonesia, yakni pada tahun 2019 dan 2024.

Selain Pemilu, bangsa Indonesia juga melaksanakan Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemilihan kepala daearh yang pertama yang digelar adalah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kertanegara pada tanggal 1 Juni 2005. Undang-Undang yang mendasari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah ini telah mengalami beberapa kali perubahan yang kemudian berimplikasi pada penyebutan istilah, mulai dari Pilkada, Pemilukada, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota, hingga istilah Pilkada Serentak. Berdasarkan undang-undang pemilihan kepala daerah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah didasarkan pada Akhir Masa Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di masing-masing Provinsi/ Kabupaten/ Kota. Pada masa ini terdapat 4 wilayah yang mempunyai aturan Khusus tentang Pemilihan Kepala Daerah yakni DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh dan Papua. Secara prinsip desain penyelenggaraan Pilkada serentak Tahun 2024 adalah menyerentakkan penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh Indonesia, kecuali pemilihan kepala daerah di 5 kota dan 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI dan pemilihan kepala daerah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menghapus Ambang Batas

Pemerintah dan DPR, Pemerhati Pemilu/NGO dan Mahkamah Konstitusi sepertinya sedang mendesain Pemilu yang ideal untuk bangsa Indonesia. Pemilu yang membuat gembira Peserta Pemilu, Pemilih dan Penyelenggaranya. Mulai dari mendesain ulang bentuk Pemilu, sistem Pemilu serta aturan teknis di dalamnya. Empat Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga melakukan uji materi terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu yang mengatur tentang Presidential Threshold/ Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Melalui putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan dengan menghapus ambang batas pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu selanjutnya, dengan kata lain seluruh Partai Politik/ Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain menghapus ambang batas Pilpres, Mahkamah Konstitusi juga menghapus ambang batas “kursi DPRD” pada penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora.  Dengan putusan ini seluruh partai politik peserta Pemilu 2024 dapat mengusung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dengan tetap memperhatikan jumlah penduduk yang terdaftar dalam DPT dan jumlah perolehan suara sah meskipun tidak memperoleh kursi DPRD.

Implikasi Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa desain Pemilu idealnya adalah dengan mengelompokkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal/ Daerah. Pada putusan nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa Pemungutan Suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR dan DPD RI, dan setelahnya paling singkat 2 tahun atau paling lambat 2 tahun 6 bulan diselenggarakan pemungutan suara untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur,  anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota serta Anggota DPRD Kabupaten/ Kota. Dari sekian putusan, yang berujung pada perubahan sistem, desain dan teknis Pemilu serta Pemilihan, selalu muncul konsekuensi logis pada penerapannya. Misalnya, dari sisi peserta Pemilu adalah rumusan soal Partai Politik peserta Pemilu pada Pemilu yang mana yang berhak mengusung Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah? Apakah peserta Pemilu Tahun 2024 atau Peserta Pemilu Tahun 2029 (Pilpres) dan 2031 (Pilkada). Tentang penetapan partai politik peserta Pemilu? apakah menggunakan skema 1 kali penetapan, sehingga Peserta Pemilu Nasional akan otomatis menjadi Peserta Pemilu Lokal/ daerah? Dari sisi penyelenggaraan adalah bagaimana mendesain kampanye dengan biaya murah nan efektif, mengingat pada Pemilu ke depan calon anggota DPR RI tidak dapat mengandalkan “patungan” dengan calon anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota ketika kampanye.  Dari sisi pembiayaan, soal rumusan sumber anggaran, apakah APBN seluruhnya atau kombinasi APBN dan APBD? Karena Pemilu ke depan merupakan Pemilu campuran antara Pemilu dan Pemilihan. Gagasan MK yang ingin memperkuat proses demokrasi di tingkat lokal sekaligus mencari celah penerapan prinsip efisiensi dan efektifitas jangan sampai hanya menjadi ajang coba-coba.

Ber-Pemilu dengan Gembira

Penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019 dan 2024 banyak menelan korban jiwa dari unsur penyelenggara Pemilu. Tercatat 824 orang meninggal dunia pada tahun 2019, sedangkan tahun 2024 sebanyak 94 orang meninggal dunia dan ribuan orang yang dilaporkan jatuh sakit. Tingkat invalid vote yang cenderung tinggi menunjukkan salah satu faktor kejenuhan pemilih, sehingga pemilih hadir di TPS namun tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik. Keluh kesah peserta Pemilu/ Pemilihan tentang biaya yang tinggi untuk memenangkan kontestasi. Dengan desain baru Pemilu ini, diharapkan mampu untuk menyusun restorasi Pemilu baik skala nasional maupun lokal. Setidaknya Partai Politik sebagai peserta Pemilu dapat menyiapkan proses kaderisasi dengan cukup waktu sehingga calon-calon yang muncul adalah calon-calon yang mempunyai kapasitas mengelola negara dengan lebih baik. Terhindarnya voters fatigue, masyarakat mempunyai kesempatan untuk memilih dengan gembira, sehingga pemilih mempunyai dorongan yang kuat untuk hadir di TPS dan menggunakan hak pilihnya dengan benar karena disuguhi calon-calon yang berkualitas. Penyelenggara Pemilu juga bisa bernafas, mengatur ritme, menyajikan penyelenggaraan Pemilu atau Pemilihan yang lebih bermutu dan legitimate. Saatnya ber-Pemilu dengan gembira.

 

Nursahid Agung Wijaya

Kepala Subbagian Keuangan, Umum dan Logistik KPU Kabupaten Wonogiri

 

*artikel ini telah tayang di halaman 2, Harian Solopos tanggal 7 Juni 2025

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 107 kali