
KELUARGA: SEKOLAH DEMOKRASI PERTAMA
Seminggu setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 22 Juni 1949, pejuang kemerdekaan yang masih hidup kembali berkumpul bersama keluarganya. Momen kepulangan ini menjadi dasar penetapan Hari Keluarga Nasional oleh Presiden Soeharto tanggal 29 Juni 1992. Selanjutnya hingga kini, setiap 29 Juni kita memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Peringatan ini membawa pesan kuat, bahwa keluarga adalah pilar utama peradaban, pendidikan karakter dan pondasi demokrasi.
Dalam keluarga nilai-nilai demokrasi bisa ditanamkan sejak dini. Partisipasi, kesetaraan, dan penghargaan terhadap perbedaan, seharusnya tumbuh dan berkembang dari ruang privat dan sering tidak terlihat, yaitu keluarga. Menyampaikan pendapat tanpa takut, saling mendengar, menghargai perbedaan pendapat dan mengambil keputusan bersama adalah hal sederhana yang bisa dibiasakan dalam keluarga. Sayangnya, praktik ini belum membudaya. Masih banyak ditemukan kekakuan dan keakuan. Pada situasi ini anggota keluarga terutama anak, sulit tumbuh menjadi individu merdeka dalam berpikir, apalagi dalam memilih.
Gen Z dan Pilkada
Padahal Gen Z, generasi yang lahir di rentang tahun 1997 hingga 2012, adalah pemilih baru yang jumlahnya signifikan. Di Pilkada Wonogiri tahun 2024 jumlahnya 160.850 jiwa, setara dengan 19% dari jumlah total Daftar Pemilih Tetap. Generasi yang tumbuh ditengah kemajuan teknologi informasi ini dikenal kritis dan aktif di media sosial dan terbiasa mengakses informasi dari berbagai sumber. Ironisnya mereka juga rentan terhadap disinformasi, terjebak algoritma, mudah jenuh, dan tidak sedikit pula yang cenderung sinis serta apatis memandang politik dan demokrasi.
Berdasar data KPU Wonogiri, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak tahun 2024 sebesar 69,92%. Jauh dari target nasional yang ditetapkan KPU RI sebesar 80%. Dan yang mengejutkan, jumlah suara tidak sah sebanyak 25.599 suara atau 4,34% dari jumlah pengguna hak pilih untuk jenis Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Sedangkan untuk jenis Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur jumlah suara tidak sah sebanyak 28.142 suara atau 4,77% dari jumlah pengguna hak pilih. Jumlah ini setara dengan jumlah pemilih Pilkada di Kecamatan Bukukerto Kabupaten Wonogiri.
Banyaknya suara tidak sah memberikan sinyal adanya kesenjangan literasi politik, atau bentuk protes terhadap sistem politik yang sedang berjalan. Asumsinya, pemilih pemula termasuk Gen Z memiliki andil yang cukup signifikan terhadap capaian tersebut.
Tantangan untuk Pemilu dan Pilkada berikutnya bukan hanya pada tingkat kehadiran di TPS, tapi pada kualitas kesadaran demokrasi yang tumbuh dari dalam diri setiap pemilih. Kedepan angka kehadiran di TPS haruslah naik, sebaliknya jumlah suara tidak sah haruslah menurun. Disisi lain kita masih menghadapi persoalan klasik elektoral, yakni money politics, apatisme, hingga masifnya hoaks dan disinformasi.
Keluarga: Sekolah Demokrasi Pertama
Paska Pilkada 2024, KPU Wonogiri mulai melakukan pendekatan pendidikan pemilih berbasis komunitas dan keluarga. Karena pendidikan demokrasi melalui sekolah, media sosial, atau lembaga formal tidaklah cukup. Sebelum negara mengajarkan prinsip dan nilai berdemokrasi, keluarga mestinya menjadi tempat pertama dan utama bagi anggota keluarganya menemukenali nilai-nilai demokrasi.
“Urusan negara akan dapat diselesaikan jika kita mengandalkan kekuatan keluarga. Ketika urusan keluarga tuntas, maka urusan lainnya pun akan mengikuti.” Demikian disampaikan Menteri Wihaji pada acara Bincang Keluarga: Membangun Keluarga Harmonis dan Tangguh melalui kanal Youtube Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga BKKBN . Urusan lain, tentu saja termasuk diantaranya adalah pendidikan demokrasi.
Dalam berbagai kesempatan dialog, sering terlihat bagaimana keluarga berpotensi menjadi ruang efektif dalam memperkenalkan nilai-nilai demokrasi. Antara lain soal integritas, toleransi, juga dampak dari satu suara. Terpenting bahwa demokrasi bukan persoalan menang atau kalah, tapi tentang tanggung jawab sebagai warga negara.
Diskusi tentang nilai-nilai demokrasi harus dimulai dari obrolan santai di rumah. Dengan memberikan ruang pada anak untuk bertanya, berbeda pendapat, atau sekadar berdiskusi santai tentang apa yang terjadi di lingkungannya. Bayangkan dalam suasana guyub dan kebersamaan yang sederhana, bapak dan ibu memberi ruang bagi anak untuk bercerita. Ada proses diskusi, bahkan mungkin muncul perbedaan pendapat yang hangat diterima.
Demokrasi diartikan sebagai keterlibatan setiap orang dalam proses pengambilan keputusan. Praktik demokrasi dalam keluarga bisa terjadi di meja makan atau di ruang keluarga, saat menyusun jadwal liburan atau membagi tugas rumah tangga. Dengan membuka ruang partisipasi melalui dialog dan rembugan, dapat menegaskan keadilan dan kesetaraan, menanamkan nilai kritis dan tanggung jawab, dan yang paling penting adalah tauladan dari orang tua. Prinsipnya tidak melulu membahas urusan politik elektoral, tapi tentang bagaimana anggota keluarga belajar untuk mendengar, didengar dan menghargai suara orang lain. Sejatinya inilah demokrasi.
Harganas Menjadi Pengingat
Hari Keluarga Nasional kembali mengingatkan kita bahwa kekuatan bangsa dimulai dari keluarga. Sekaligus menjadi momen evaluasi bersama, apakah keluarga kita sudah memberi ruang tumbuh yang merdeka berpikir dan bersikap? Sudahkah kita memberi tauladan toleransi, penghargaan atas perbedaan dan tanggung jawab menaati keputusan bersama kepada anak-anak kita?
Mari jadikan keluarga sebagai tempat persemaian warga muda yang kritis, santun, cerdas, berani berbeda, dan menjadi penjaga demokrasi, bukan hanya di panggung politik, tapi juga di ruang sosial dan digital. Demokrasi yang kokoh tidak bisa dibangun dalam sehari, setahun atau beberapa kali Pemilu dan Pilkada. Karena sekali lagi, demokrasi yang sehat tidak lahir dari panggung politik saja, tapi dari ruang privat yang paling dekat.
Selamat Hari Keluarga Nasional. Dari keluarga, demokrasi dibentuk. Dari rumah, bangsa dibangun.
Tulisan pernah dimuat di media online Radar Solo Jawa Pos
https://radarsolo.jawapos.com/opini/846195487/keluarga-sekolah-demokrasi-pertama
Profil Penulis
SATYA GRAHA, lahir di Surakarta tanggal 20 September 1979. Tinggal di Bulusulur, Wonogiri bersama istri dan dua anaknya. Saat ini menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wonogiri periode 2023 – 2028, setelah lama membersamai desa untuk beberapa project dan program pemberdayaan masyarakat desa. Dapat di kontak di rahagastya@gmail.com atau 081393453666.