Parameter Integritas Dalam Meraih Kepercayaan Publik
A. Intergitas dan Kepercayaan Publik
Parameter merupakan tolok ukur komponen yang berguna dalam mengidentifikasi suatu sistem atau objek. Parameter integritas penyelenggara pemilu telah diatur dalam kode etik penyelenggara pemilu yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggara dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan wewenangnya. Lembaga penegak kode etik Pemilu adalah DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Namun untuk pelanggaran kode etik di badan ad hoc (penyelenggara yang bersifat kepanitiaan) dapat diselesaikan di tingkat KPU kabupaten/kota atau di Bawaslu kabupaten/kota. Setiap penyelenggara pemilu memegang teguh prinsip moral dan etika dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam menyelengarakan pemilu.
Muara dari integritas penyelenggara pemilu melahirkan wibawa kelembagaan dan kepercayaan publik (public trust) sebagai elemen utama yang mendasari legalitas administrasi publik. Terlebih lagi KPU berkewajiban untuk melayani peserta pemilu dan masyarakat pemilih dengan mengedepankan prinsip penyelenggaraan Pemilu yaitu mandiri dan adil. Kedua prinsip tersebut menjadikan kepercayaan publik sebagai indikator dan parameter. Tanpa kepercayaan publik, berbagai kebijakan yang diambil akan menemui masalah-masalah yang serius. Kepercayaan publik yang baik dan berkomitmen terhadap seluruh proses penyelenggaraan akan memungkinkan administrator publik untuk mendapatkan penilaian yang baik, yang diperlukan dalam proses-proses kerja KPU.
Selain itu, dalam sukseksi kepemimpinan, integritas harus dimiliki semua pihak yang terlibat dalam proses penyelenggaran pemilu. Integritas tidak hanya harus dimiliki oleh penyelenggara, melainkan peserta pemilu dan masyarakat pemilih. Hal ini menjadi kunci sukses pelaksanaan pemilu. Integritas merupakan satu hal yang sangat penting untuk menjadi dasar perilaku setiap penyelenggara pemilu. Turunan paling sederhana dari integritas adalah prinsip akuntabel. Akuntabilitas merupakan suatu bentuk prinsip yang mengajarkan mengenai transparansi kinerja serta pertanggungjawaban atas tugas maupun kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pengadministrasian yang akuntabel dapat menjadi contoh kerja-kerja berintegritas penyelenggara pemilu. Tindakan ini menjadi suatu pilar penting untuk kemajuan organisasi mengingat bahwa dalam suatu lembaga, para pemangku kepentingan telah mempercayakan pelayanan terlaksananya hak-hak mereka dikelola oleh para penyelengara Pemilu.
B. Etika dan Penerapannya oleh Penyelenggara Pemilu
Etika adalah refleksi kritis, metodis, dan sistematis tentang tingkah laku manusia yang berkaitan dengan norma-norma atau tentang tingkah laku manusia dari sudut kebaikannya. Etika juga merupakan cabang dari ilmu filsafat yang melakukan kajian kritis tentang moralitas, yaitu kebaikan atau keburukan, tindakan-tindakan manusia. Etika berkaitan dengan nilai-nilai dan kepercayaan yang sangat penting bagi individu maupun masyarakat. Hal yang dibicarakan dan dianalisis dalam etika, adalah tema-tema sentral mengenai hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, norma, hak dan kewajiban, serta nilai-nilai kebaikan. Pengertian etika dirumuskan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipegang oleh para penyelenggara pemilu dalam lingkungan kerja dan masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya, yang bertujuan untuk menciptakan hubungan antar manusia dalam masyarakat secara harmonis, dan oleh sebab itu etika selalu menuntun orang agar bersungguh-sungguh menjadi baik, agar memiliki sikap etis atau sesuai perilaku yang disepakati secara umum.
Terkait dengan Kode Etik Penyelenggara Pemilu, dapat diartikan sebagai satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan. Adapun tujuan kode etik ini adalah untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas Penyelenggara Pemilu, yang sesuai dengan Prinsip Penyelenggaraan Pemilu,
yaitu: (1) mandiri; (2) jujur; (3) adil; (4) berkepastian hukum; (5) tertib; (6) terbuka; (7) proporsional; (8) profesional; (9) akuntabel; (10) efektif; dan (11) efisiensi.
C. Sanksi-sanksi dalam Pelanggaran Kode Etik
Pemilu Sebelumnya perlu pula dipahami bahwa antara sanksi pelanggaran hukum dengan sanksi pelanggaran etika adalah berbeda, karena menurut American Speech Language Hearing Assocation (ASHA) sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie dalam Erwinsyahbana (2015:14) bahwa dalam sistem sanksi etika, bentuk sanksi yang dapat diterapkan adalah:
- Reprimand atau teguran;
- Cencure atau pernyataan atau mosi tidak percaya yang dinyatakan secara terbuka dan dipublikasikan di media asosiasi untuk diketahui oleh sesama anggota dan masyarakat luas;
- Revocation atau pencabutan status keanggotaan untuk waktu tertentu, yaitu selama 5 (lima) tahun atau dapat pula dijatuhkan untuk seumur hidup (sampai meninggal dunia);
- Suspension atau penangguhan keanggotaan untuk sementara waktu;
- Withholding atau sanksi penangguhan proses registrasi keanggotaan; dan
- Cease and desist orders atau sebagai tambahan bentuk sanksi lain.
Sehubungan dengan bentuk sanksi yang disebutkan di atas, Jimly Asshiddiqie juga mengatakan bahwa fungsi sanksi etika lebih bersifat pencegahan, selain juga penindakan. Sanksi etika biasanya ditentukan berupa teguran atau peringatan yang bertingkat, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis atau teguran ringan dan teguran keras. Bahkan kadang - kadang ditentukan pula bahwa teguran itu dapat dijatuhkan secara bertahap atau bertingkat, misalnya teguran pertama, teguran kedua dan teguran tingkat terakhir. Bentuk sanksi yang paling keras karena tingkat keseriusan atau beratnya pelanggaran etik yang dilakukan oleh seorang aparat atau pemegang jabatan publik (ambts-dragger), adalah sanksi pemberhentian atau pemecatan seseorang dari jabatan publik yang bersangkutan,tetapi khusus terhadap pelanggaran kode etik Pemilu, maka dalam Peraturan Kode Etik Pemilu, telah ditentukan bahwa sanksi pelanggaran Kode Etik Pemilu, terdiri dari:
- teguran tertulis;
- pemberhentian sementara; atau
- pemberhentian tetap.
D. Penutup
Teori - teori tentang integritas, etika dan kepercayaan publik telak banyak berkembang seiring casuistik yang terjadi, dimana ilmu - ilmu ini dapat diterapkan. Integritas tidak hanya harus dimiliki oleh penyelenggara, melainkan peserta pemilu dan masyarakat pemilih juga harus memiliki integritas, hal ini menjadi kunci sukses pelaksanaan pemilu yang berkualitas. Adanya fakta bahwa di berbagai daerah terdapat beberapa pengaduan kasus dugaan pelanggaran Kode Etik Pemilu yang berproses (diperiksa dan/ atau diputus) oleh DKPP, menunjukan bahwa fungsi sanksi etika yang bersifat pencegahan belum berjalan optimal. Penyelenggara pemilu, peserta pemilu, masyarakat pemilih merupakan aktor - aktor utama dalam mengimplementasikan nilai-nilai integritas untuk itu sudah saatnya untuk menggoptimalkan perannya untuk mencapai pemilu yang berkualitas.
Pustaka :
Erwinsyahbana, T. 2015. Pelanggaran Kode Etik dan Sanksi dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Teknis Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara, Berastagi, Tanggal 6-8 November.
*Opini telah terbit pada Koran Jawa Pos Radar Solo Halaman 5 Ruang Opini Oleh Pradika Harsanto, S.I.P., M.M.